Kamis, 23 Juli 2009

Inovasi pembelajaran Baha Indonesia

Inovasi Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Metode Diskusi


1. Pendahuluan

Pembelajaran (learning) bahasa harus dibedakan dengan pemerolehan (acquiring) bahasa. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak disengaja, maka pembelajaran bahasa diperoleh dengan sengaja. Jika pemerolehan bahasa terjadi karena kehendak kuat untuk menjadi bagian (bersoialisasi dengan) atau kehendak kuat untuk dianggap sebagai warga pemilik bahasa itu, maka pembelajaran bahasa terjadi karena "keinginan" untuk mengenali kehidupan orang-orang yang mempergunakan bahasa itu. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak direncanakan, dirancang, disistematisasikan, maka pembelajaran bahasa terjadi karena pihak lain merancangnya tahap demi tahap, bahan demi bahan, tujuan demi tujuan. Rancangan dari pihak lain dapat saja wujud konkretnya menjadi suatu modul atau program pembelajaran, yang tanpa bantuan orang lain--tanpa guru-- dapat dikuasainya. Jika pemerolehan bahasa terjadi melalui intake (bahan bahasa yang meaningful/contextual/functional), maka pembelajaran bahasa dapat saja terjadi melalui bahan-bahan bahasa tanpa konteks.

Karena diketahui hasilnya sangat efektif, maka cara memperoleh (acquiring) bahasa seperti disebutkan di atas diadopsi ke dalam pembelajaran (learning) bahasa. Muncullah karena itu cara pembelajaran kontekstual, di mana materi bahasa dirakit dalam suatu konteks, dipilih sesuai dengan tingkat keseringan kemunculannya, dan dipilih berdasarkan konteks fungsional. Itulah sebabnya, pemilihan materi bahasa harus juga mendasarkan faktor sosiolinguistis dan pragmatis. Faktor sosiaolinguistis menentukan pilihan-pilihan variasi sosiaolinguistis: siapa mitra bicara, dalam konteks apa berbicara, saluran apa yang dipilih, tujuan apa yang dicapai. Faktor pragmatis menentukan pilihan-pilihan variasi kebahasaan berdasarkan tingkat keresmian komunikasi.

Mempelajari bahasa berdasarkan ciri-ciri seperti yang terjadi pada pemerolehan bahasa itulah yang secara khusus disebut mempelajari bahasa dengan pendekatan komunikatif. Tujuan pokok dari belajar bahasa dengan pendekatan itu adalah dicapainya kemampuan berkomunikasi pada diri pembelajar. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa menjadi pandom (penuntun) pemilihan variasi-variasi bahasa, yang meliputi variasi ucapan, pilihan kosa kata, pilihan bentuk kata, pilihah frasa, klausa, jenis kalimat, urutan unsur-unsur kalimat, bahkan pilihan jenis wacana tertentu. Karena fungsi bahasa harus menuntun pilihan variasi bahasa, maka mau tidak mau konteks ( wacana) menjadi pandon penting.

2. Tujuan Belajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing

Mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (termasuk mempelajari bahasa lain sebagai bahasa asing) memiliki tujuan, yaitu tercapainya keterampilan berbahasa pada diri si belajar (learner). Ia menjadi dapat berbahasa, dapat berhubungan dengan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Namun demikian, perlu dibedakan adanya dua jenis tujuan, yaitu umum dan khusus. Jika seseorang mempelajari bahasa asing semata-mata untuk dapat berkomunikasi keseharian dengan penutur bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan umum. Tercapainya tujuan umum seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan yang disebut BICS (basic interpersonal communication skills). Oleh karena itu, tekanan penguasaan adalah bahasa sehari-hari sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan praktis, misalnya bagaimana si belajar menyapa, menawar, menolak, mempersilakan, mengucapkan terima kasih, menyatakan penyesalan, mengajak, meminta izin, memintakan izin, menyela, menyudahi percakapan, berpamitan, memperkenalkan diri, memperkenalkan temannya, mengeluh, memuji, memberi dan membalas salam, berobat, menelepon, pergi ke bank, dan sebagainya.

Sebaliknya, jika seseorang ingin mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diungkapkan dalam bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan khusus. Misalnya, ia ingin mempelajari kepercayaan yang dianut suatu suku bangsa, atau mempelajari kebudayaan suatu suku bangsa. Tercapainya tujuan seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan yang disebut CALP (cognitive/academic language proficiency).

Tentu saja, bahan yang diajarkan untuk dua jenis tujuan itu berbeda meskipun pendekatan yang dipergunakan sama; bahkan ciri-ciri kebahasaan bahasa Indonesia yang diajarkan juga berbeda. Soewandi (1993) menyingkat ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya BICS menjadi lima kecenderungan: (1) dipergunakannya bentuk- bentuk kata yang tidak formal, (2) dipergunakannya kosa kata tidak baku, (3) dihilangkannya imbuhan-imbuhan kata (afiks) dan kata-kata tugas yang tidak menimbulkan salah tafsir, (4) penulisan yang tidak baku, dan (5) dipakainya susunan kalimat yang sederhana dan lebih cenderung tidak lengkap. Sebaliknya, ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya CALP ada lima kecenderungan, yaitu ditekankannya penggunaan: (1) bentuk-bentuk kata yang baku, (2) kosa kata teknis dan baku, (3) imbuhan dan kata-kata tugas secara lengkap, (4) kaidah-kaidah penulisan, dan (5) susunan kalimat yang baku, lengkap unsurnya, dan pada umumnya lebih kompleks.

Pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dapat memilih salah satu dari kedua tujuan itu meskipun dapat saja keduanya. Hanya saja, untuk dapat.menguasai CALP, dituntut dimiliknya BICS lebih dahulu. Mengapa? Karena mereka yang mempelajari bahasa dengan tujuan CALP pada umunya mereka yang ingin mendalami salah satu aspek dari kegiatan manusia Indonesia, entah mendalami kebudayaannya, kehidupan sosialnya, atau politiknya, atau manusianya sebagai paguyupan tertentu (antropologis). Untuk dapat mencapai tujuan itu, secara metodologis ia harus menjadi bagian dari kehidupan yang ingin dikenali. Oleh karena itu, mau tidak mau, penguasaan BICS menjadi penolong yang penting dalam penemuan data yang diinginkan.Karena pada umumnya pembelajaran bahasa dibedakan menjadi tiga tingkat--permulaan, tengahan dan lanjutan--kiranya pembelajaran dengan diskusi hanya cocok diterapkan pada pembelajaran bahasa dengan tujuan tercapainya CALP; berarti hanya cocok bagi mereka yang sudah ada di tingkat lanjutan.

Judul makalah itu mengacu, tentu saja, pada tercapainya tujuan belajar bahasa pada tingkat CALP. Mengapa? Karena belajar dengan diskusi mengandaikan "penguasaan bahasa" sudah terpenuhi. Pada tingkat CALP ini, pada umumnya kursus-kursus bahasa Indonesia bagi orang asing menuntut tercapainya profil kompetensi : (1) mampu berbicara tentang topik-topik tertentu sesuai dengan bidang minatnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (2) mampu mendengarkan pembicaraan dalam seminar, mendengarkan berita-berita dari radio dan televisi; (3) mampu membaca teks-teks asli (di majalah, atau surat kabar, terutama untuk memahami ide-ide yang ada di dalamnya), dan (4) mampu mengungkapkan gagasannya secara tertulis dalam bentuk karangan ilmiah. Jika pembelajaran pada tingkat BICS si belajar masih lebih berkutat pada penguasaan bahasa sebagai bekalnya, maka tekanan pembelajaran pada tingkat CALP lebih-lebih pada bagaimana dengan bekal bahasanya itu ia dapat memahami dan mengungkapkan idenya kepada mitra diskusi. Ini tidak berarti bahwa bekal bahasanya sudah dikuasainya secara sempurna. Si belajar masih tetap mempelajari bahasanya, tetapi boleh dikatakan sudah pada tingkat "menyempurnakan/memperbaiki".

3. Diskusi sebagai Salah Satu Bentuk Pembelajaran Bahasa Asing

Istilah diskusi di sini berupa suatu konstruk yang oleh penulis diisi pengertian yang sedikit berbeda dengan istilah diskusi dalam kaitannya dengan debat, dan diskusi dalam kaitannya dengan bentuk pembelajaran pada umumnya. Pengertian umum diskusi adalah membicarakan suatu masalah oleh para peserta diskusi dengan tujuan untuk menemukan pemecahan yang paling baik berdasarkan berbagai masukan. Sebaliknya, debat adalah pembicaraan tentang suatu masalah dengan tujuan untuk memenangkan atau mempertahankan pendapat yang dimiliki oleh peserta debat. Sangat mungkin, pendapat yang dimenangkan bukan yang terbaik.

Diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran umum adalah suatu cara pembelajaran di mana peserta didik (murid, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawaban bersama) dengan cara saling memberikan pendapatnya, kemudian disaring untuk ditemukan kesimpulan. Tentu saja persyaratan terjadinya pembelajaran dengan diskusi adalah bahwa bahasa benar-benar sudah sangat dikuasai oleh peserta didik. Guru tidak lagi memberikan perhatian pada bahasa, melainkan pada isi atau materi diskusi.

Diskusi di dalam makalah ini diberi pengertian sebagai bentuk pembelajaran bahasa asing, di mana para peserta diskusi mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah (topik). Seseorang mempersiapkan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk karangan pendek, kemudian disajikan di kelas. Yang lain memberikan tanggapan secara lesan. Kebenaran pendapat yang disampaikan, baik oleh penyaji makalah maupun teman-temannya, memang perlu diperhatikan, tetapi yang lebih ditekankan adalah bahasa yang dipergunakan benar atau tidak. Di samping itu, kesimpulan pendapat tidak perlu dituntut. Maka, tugas guru (instruktur) lebih pada merekam (mencatat) kesalahan-kesalahan bahasa apa saja yang dibuat oleh peserta diskusi.

Konteks diskusi di dalam makalah ini mirip dengan apa yang terjadi pada pelaksanaan perkuliahan seminar bahasa dan sastra, atau perkuliahan seminar pengajaran bahasa dan sastra di program studi atau jurusan bahasa dan sastra. Dalam pelaksanaan perkuliahan jenis ini, di samping diperhatikan tercapainya kompetensi sebagai pemakalah dalam menulis makalah, menyajikan makalah, menjawab pertanyaan; dan tercapainya kompetensi sebagai pemandu, penambat, dan pembahas tertunjuk, juga masih diperhatikan bagaimana pembahasaan (cara mengungkapkan dengan bahasa) dalam makalah, bagaimana pemakaian bahasa dalam bertanya jawab, dan menuliskan tambatan.

Pembelajaran bahasa asing dengan diskusi jarang terjadi hanya dengan satu pertemuan, tanpa didahului oleh pertemuan-pertemuan pendahuluan. Mengapa? Karena untuk dapat berdiskusi diperlukan bahan diskusi. Oleh karena itu, sebelum bentuk pembelajaran diskusi dapat diterapkan perlu ada pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk pembelajaran lain untuk tujuan membekali bahan, baik bahan diskusi maupun bahan bahasanya sebagai alat diskusi. Menurut pengalaman, dalam suatu kursus bahasa---berarti terjadi secara terencana, dari pertemuan ke pertemuan yang lain--pelaksanaan pembelajaran bahasa asing dengan diskusi menjadi efektif jika diawali dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan topik-topik yang berhubungan; baru pada awal pertemuan-pertemuan berikutnya (konkretnya pada awal minggu berikutnya) dilaksanakan pembelajaran dengan diskusi. Bahan diskusi berupa perpaduan (ramuan atau olahan) dari topik-topik yang dipelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya..

Mengapa bentuk diskusi cocok untuk pencapaian bahasa tingkat CALP? Menurut pengalaman, belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan bentuk diskusi memiliki keuntungan-keuntungan berikut. Pertama, dengan diskusi, memang materi bahasa bagi pembelajar "tidak" menjadi fokus perhatian mereka. (Materi bahasa menjadi perhatian pada waktu persiapan diskusi, yaitu pada waktu pertemuan-pertemuan pendahuluan). Yang menjadi fokusnya justru bagaimana pembelajar mengemukakan pendapatnya dengan logika, data, dan gagasannya. Bagi pembelajar tingkat lanjutan, berarti pada tingkat dicapainya CALP, kemampuan berbahasa "sudah" mereka miliki. Jadi, rasa takut salah dalam berbahasa sudah berkurang, atau bahkan dapat dihindari. Kedua, dengan diskusi, pembelajar "dipaksa" mengemukakan pendapatnya. Keterpaksaan itu justru mendorong pembelajar--tanpa "takut" salah dalam berbahasa--dengan sekuat tenaga dan sebanyak yang dimiliki untuk digunakan pada waktu menjadi pemakalah, atau pembahas, atau pemandu, atau notulis (penambat). Ketiga, semua keterampilan--mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis--dipelajari. Keempat, bagi pembelajar lanjut, yang pada umumnya adalah mereka yang duduk di perguruan tinggi, karena terjadinya transfer of learning, apa yang pernah diperolehnya--dalam hal ini penguasaan tentang aturan-aturan membuat makalah, dan sebagainya--dengan mudah dapat dimanfaatkan.

4. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dengan Diskusi

Dengan memakai pengalaman mengajar beberapa tahun yang lalu, maka pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan diskusi perlu melalui pertemuan-pertemuan pendahuluan dengan materi diskusi yang saling berkaitan, dan dengan materi bahasa yang berkelanjutan. Pada pelaksanaan diskusinya sendiri terdapat kegiatan sebagai berikut. Seseorang ditunjuk menyajikan apa yang ditulis. Sebelumnya karangan yang disusunnya dibagikan kepada teman-temannya, dan kepada guru atau instrukturnya.

Karena diskusi di sini merupakan bentuk pembelajaran dan masih tetap ditekankan pada penyempurnaan penguasaan bahasa, maka tidak diperlukan pemandu khusus. Instruktur sendiri yang mengatur jalannya "diskusi", di samping tugasnya yang pokok, yaitu mencatat--syukur dapat merekam-- kesalahan yang dibuat, baik oleh pemakalah maupun oleh yang lain, terutama kesalahan pada pemilihan kosa kata, penulisan kata, pemakaian dan pemilihan bentuk kata, pengucapan kata dan kalimat, penyusuna kata menjadi kalimat, dan menjadi paragraf. Kesalahan-kesalahan bahasa yang dibicarakan lebih ditekankan pada penyimpangannya dari kebakuan bahasa seperti yang diuraikan di muka sebagai ciri diperolehnya kompetensi CALP. Unsur sosiolinguistis dan pragmatis dari penggunaan bahasa itu juga perlu diperhatikan. Jika dianggap perlu dapat ditambahkan cultural notes dan etika berdiskusi. Tentu saja, karena dalam kursus-kursus bahasa asing terkandung unsur promosi, instruktur perlu juga bercerita sebagai pelengkap (pengayaan) terhadap topik-topik itu. (sayang tidak tersimpan satu contoh makalah yang peserta waktu itu).

Poedjosoedarmo (2001) memberikan data yang menarik., yang terjadi di Amerika serikat sebagai berikut.

“To attain an advanced level of competence, for example in the USA, where English is a native language, in most universities students are required to take a test on English, and it means a test on writing essay. This is why, books on Essay Writing and Thesaurus are important for college students. Students need to consult to a dictionary of synonyms or a thesaurus to make them able to chose the right words in their essays. In Indonesia, to well known intellectuals also spent a lot of times publishing their writings before they become famous. Good writing skill seems to be very important in developing advanced language competence.

5. Penutup

Benang merah gagasan di muka dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, mempelajari BI sebagai bahasa asing memiliki dua tujuan: umum dan khusus. Kompetensi yang akan diperoleh oleh keduanya berbeda. Mempelajari BI dengan tujuan umum ingin memperoleh BICS, sedangkan dengan tujuan khusus ingin memperoleh CALP. Bagi mereka yang mempelajari BI dengan tujuan khusus, tentu saja, perlu memiliki kompetensi kebahasaan dalam tingkat BICS juga sebagai sarana untuk, misalnya, memperoleh data. Kedua, Kebahasaan untuk tingkat BICS cenderung bercirikan sebagai bahasa yang tidak standar, sebaliknya untuk tingkat CALP bercirikan sebagai bahasa standar. Ketiga, diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing tidak sama pengertiannya dengan diskusi sebagai bentuk pembelajaran pada umumnya, dan tidak sama dengan pengertian dengan istilah diskusi dalam pasangannya dengan debat. Tujuan yang ingin dicapai terutama adalah tercapainya kompetensi kebahasaan, lebih-lebih pada tingkat CALP. Oleh karena itu, bentuk pembelajaran ini kiranya cocok untuk pembelajaran bahasa asing pada tingkat lanjut. Keempat, karena pembelajaran bahasa tidak terjadi hanya dengan satu pertemuan, melainkan dari pertemuan yang satu ke pertemuan yang lain dalam periode terttentu, maka bentuk pembelajaran dengan diskusi hanya mungkin dilaksanakan setlah pembelajar memperoleh bahan diskusi dan bertambah penguasaan bahasasanya. Oleh karena itu, seyogyanya pembelajaran dengan diskusi perlu didahului oleh pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk lain dengan materi yang saling berkaitan.

Daftar Pustaka

Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. “Language Teaching Approaches and Advanced Level of Language Competence”. Makalah dalam Seminar on Language and Culture, Sanata Dharma University, August 25.

Soewandi, A.M. Slamet. 1994. “Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Tujuan, Pendekatan, Bahan Pengajaran dan Pengurutannya”. Makalah pada Konferensi Internasional Pengajaran bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Universitas Kristen satya Wacana, 20-23 Januari.

------------. 1993. “Pembelajaran Bahasa Indonesia di Program SEASSI”, di Seattle, Universitas Washington.


Lampiran

Di bawah ini dilampirkan salah satu contoh yang penulis kerjakan pada waktu mengajarkan bahasa Indonesia di Program SEASSI, di Seattle, Washington, USA, tahun 1993. Langkah-langkahnya seperti tertulis di bawah ini.

BAHAN PELAJARAN BAHASA INDONESIA TINGKAT LANJUT

Minggu VIII, 2 - 6 Agustus 1993

Pengantar

Paket pelajaran minggu ini adalah tentang pariwisata. Ada empat topik yang saling berhubungan. Topik pertama membicarakan keuntungan bisnis wisata apabila ini dikelola (managed) secara baik. Topik kedua tentang kekurangan cara mengelola bisnis wisata sehingga berakibat adanya penurunan (dropping) valuta asing. Kasus itu terjadi di Bali dan disebabkan karena penanganan (handling) pedagang asung yang tidak baik. Topik ketiga menceritakan untung ruginya suatu objek wisata, dalam hal ini, KASADA, dan topik keempat membicarakan bagaimana salah satu objek wisata harus disiapkan.

Adapun urutan kegiatan mingu ini diatur sebagai berikut:

1. (Senin : diskusi tentang topik-topik minggu yang lalu)

2. Selasa : topik "Bisnis Wisata"

3. Rabu : topik "Acung-acung Citra Buruk"

4. Kamis : topik "Kasada"

5. Jumat : topik "Sapi-sapi Karapan menjalani Diet"

6. Senin minggu depan : diskusi tentang topik-topik minggu ini

Latihan kebahasaan yang dilakukan minggu ini adalah (1) membuat kalimat dengan pola yang tersedia, (2) menyusun kata-kata yang tersedia menjadi sebuah kalimat, (3) mengisi kata-kata pada tempat yang kosong. Diskusi tentang topik-topik yang dipelajari minggu ini dilaksanakan pada hari Senin, pertemuan pertama.

SELAMAT BELAJAR!

KATA-KATA SUKAR TEKS "BISNIS WISATA"


meraup : scoop up…with the hands

menggerakkan : membuat bergerak

kawasan : benua/continent

ketenagakerjaan : about manpower

sumbangan : contribution

penjaja : pedler

persebaran : distribution

mendukung : support

pelestarian : make s.t. everlasting

nilai : value

logis : logical

terjamin : be guaranted

perjalanan : course, trip

komparasi : comparison

menata : arrange, put in order

kebijakan : policy

tertinggal : left behind

ukuran jumlah : quantitative measurement

sekian juta : some (number of) million

masa tinggal : period of staying

seyogyanya : proper, should

diarahkan : directed to

daya beli : purchasing power

ditiru : dipakaisebagai contoh

berbulan madu : honeymoon

asal tahu : (only if) it is known

budjet : budget

sebagai pembanding : as comparison

dikalkulasi : calculated

dirumuskan : formulated

dicanangkan : proclaimed

mengingat : taking into account (due to)

terbagi-bagi : be divided

pendekatan : approach

sejajar : parallel

langkah : step

bersedia : mau, willing, ready

bermobil : naik mobil

iklim ekonomi : economic climate

masa kini : nowadays

ditarik : pulled

digarap : cultivated

tidak keberatan : do not object (don't mind)


PERTANYAAN-PERTANYAAN TEKS "BISNIS WISATA"

A. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

  1. Sebutkan beberapa keuntungan bisnis wisata!
  2. Apa yang dimaksud dengan multiplier effect? Berikan contohnya!
  3. Mengapa Indonesia harus mencontoh bisnis wisata Hawai? Apa yang harus dicontoh?
  4. Apa perbedaan antara target kuantitatif dan target kualitatif? Apa indikator target kualitatif?
  5. Sebutkan negara-negara tujuan wisata, dan sebutkan pula budjet promosi yang dikeluarkan!
  6. Apa saran pengarang terhadap bisnis wisata di Indonesia?
  7. Hal apa saja yang perlu disangkalkan (involved) dengan bisnis wisata?
  8. Apa artinya "industri pariwisata tak kenal resesi"?

B. Latihan pola kalimat

1. Pola kalimat: Pariwisata sangat menguntungkan bagi pembangunan dilihat dari segi bahwa ia menghasilkan multiplier effecet di sektor lain.

Buatlah kalimat dengan pola tsb: …dilihat dari segi bahwa…(5 kalimat saja)

2. Pola kalimat: Kebijakan promosi wisata seyogyanya diarahkan kepada negara-negara yang mempunyai daya beli tinggi.

Buatlah kalimat dengan pola: … seyogyanya di … (5 kalimat saja)

C. Tugas

Bacalah teks "Acung-acung Citra Buruk", kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaan yang terlampir!

Sabtu, 28 Februari 2009

soal latihan kelas XII

Soal bahasa indonesia kelas XII

Bacalah wacana berikut dengan seksama!

Langganan Majalah Via Web

Dunia internet dan kemajuan teknologi digital tidak diragukan lagi telah merubah tataran media penerbitan. Konvergensi teknologi digital telah turut serta merubah cara pemasaran terbitan surat kabar dan majalah. Di abad digital tiras atau oplag majalah agaknya tidak dapat semata-mata diukur dari jumlah terbitan berwujud cetakan di atas kertas semata, namun mesti dihitung juga dengan pelanggan lewat dunia internet. Saat ini semakin banyak surat kabar dan majalah terkemuka dunia yang telah menjajakan terbitannya langsung lewat internet.

Tumbuhnya kebutuhan yang sesungguhnya muncul sejak awal tahun 2000-an telah diantisipasi oleh setidaknya dua web developer yang menyediakan aplikasi berbasis web dari as- newstand.com dan zinio.com untuk menjajakan majalah dan surat kabar dalam versi edisi digital on-line.

Kedua pebisnis internet ini mengelola web situs dan menyediakan aplikasi tambahan berbasis web dan flash hingga memudahkan pembaca menelusuri layaknya membuka lembaran majalah atau koran. Baik zinio.com maupun new stand menyatakan saat ini tengah tumbuh kebutuhan untuk mendapatkan terbitan koran dan majalah versi edisi digital. Bahkan sejak tahun pertama peluncuran layanan tahun 2002/2001 manajer pemasaran newstand.com mengklaim tingkat pertumbuhan pelanggan yang pernah mencapai 360 %.

  1. Tentukanlah pernyataan yang merupakan paragraf fakta dan pendapat dari teks di atas?
  2. Teks “Langganan Majalah Via Web” cobalah anda ringkas menjadi paragraf argumentasi?
  3. Jelaskan mengenai unsur-unsur karya sastra?
  4. Apa yang anda ketahui mengenai point of view dalam sebuah karya sastra? Beserta contohnya.
  5. Buatlah contoh naskah pidato dalam acara peringatan HUT RI ke 63?
  6. Jelaskan hal apakah yang perlu diperhatikan dalam melatih berpidato yang baik?
  7. Berdasarkan pengirim dan isinya, surat dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Jelaskan!
  8. Bagaimana sitematika penulisan surat dinas?
  9. …Sambil melingkarkan tas lusuh itu di pundaknya, Rahman menenteng tas kresek hitam berisi lima puluh potong pisang goreng hangat. Semua juga sudah tahu, Rahman selalu menitipkan gorengan dari ibunya ke warung tempat ia bersekolah. Cibiran teman-teman yang tak bersimpati kepadanya seperti tak pernah sanggup menggoyahkan prinsipnya. Baginya hanya dengan berdagang gorengan itulah ia tetap dapat sekolah…

Dari cuplikan cerpen diatas tentukan amanat yang terkandung didalamnya!

  1. Buatlah contoh surat dinas dengan topik ”permohonan izin sewa gedung”!

Bagian 2 (makalah TIK)


PERANCANGAN DAN PEMBUATAN MODEL PEMBELAJARAN E-LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN DI JPTE FPTK UPI

E-Learning Merupakan Inovasi Pendidikan Dalam Proses Pembelajaran Fisika

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari waktu ke waktu semakin pesat. Fenomena tersebut mengakibatkan adanya persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satu di antaranya bidang pendidikan. Untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas diperlukan adanya peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini keberhasilan pendidikan tak lepas dari peran sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta. Menurut Darsono (2000) bahwa sekolah merupakan tempat pengembangan kurikulum formal, yang meliputi: (1) tujuan pelajaran umum dan khusus, (2) bahan pelajaran yang tersusun sistematis, (3) metode/strategi pembelajaran, dan (4) sistem evaluasi untuk mengetahui hingga mana tujuan tercapai.

Menurut Darsono (2001), proses pembelajaran secara umum merupakan suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadi perubahan tingkah laku, maka pengertian pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Untuk pencapaian hasil belajar yang optimal diperlukan suatu alat pendidikan ataupun media pembelajaran. Penerapan media pembelajaran harus dapat melatih cara-cara memperoleh informasi baru, menyeleksinya dan kemudian mengolahnya, sehingga terdapat jawaban terhadap suatu permasalahan.
Perkembangan teknologi informatika, membawa orang untuk dapat mencari informasi ke seluruh dunia menggunakan media internet.

Komputer sebagai alat bantu tambahan dalam proses pembelajaran. Manfaat komputer meliputi penyajian informasi, isi materi pelajaran dan latihan atau kombinasinya. Cara seperti ini yang dikenal sebagai Computer Assisted Instruction (CAI) atau Pembelajaran Berbasis Komputer. Sejalan dengan perkembangan CAI, maka munculah inovasi baru dalam pembelajaran berbasis komputer berjaringan internet. Inovasi tersebut sekarang dikenal dengan nama e-learning. Sanjaya (2006) memandang e–learning atau proses pembelajaran dengan media elektronik terutama internet, saat ini dianggap dapat menjadi solusi pendidikan bagi siswa yang tidak dapat hadir secara fisik ke setiap perkuliahan/pembelajaran. Namun siswa tersebut mempunyai niat untuk melakukan pembelajaran dengan baik agar dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

B. Pengembangan Program Pembelajaran Berbasis Komputer

Sebuah software instruksional, didalamnya terkandung dua aspek utama, yaitu materi subjek dan aspek pedagogi yang dibawanya menurut tuntutan keterampilan dari materi yang disajikan. Secara teknis implementasinya dalam pembelajaran sesuai dengan teori belajar. Dasar pengembangan program instruksional dengan dua dasar konsep yang melandasi pengembangannya yaitu materi dan aspek pedagogi. Pengembangan program pembelajaran, selain didasarkan pada dua aspek materi dan aspek pedagogi sebagaimana dikemukakan, juga menuntut aspek pengembangan yang lain, terutama dari segi psikologi interaktif dan teknologi pengembangan software. Oleh karena itu, e-learning merupakan prinsip yang diterapkan dalam pengembangan software pembelajaran. Dari sisi teknologi, pengembangan software juga menuntut dilibatkannya bahasa pemrograman tertentu, yang masing-masing bahasa mempunyai ketentuan tersendiri dalam penggunaanya.

C. Program Pembelajaran Fisika Berbasis Komputer

Komputer dalam pembelajaran fisika dapat digunakan sebagai alat bantu percobaan, simulasi, demonstrasi, dan juga alat hitung. Simulasi komputer dengan topik bahasan fisika dapat membantu siswa lebih mengerti persoalan yang dipelajari. Simulasi komputer mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : (1) praktikum fisika yang sulit dan bahannya mahal dapat diganti dengan simulasi yang lebih murah dan lebih jelas, (2) siswa dapat mengulangi simulasi sendiri tanpa bantuan guru.
Menurut Supriyadi (2003), hal terpenting yang perlu dipertimbangkan dalam menggunakan program pembelajaran fisika berbasis komputer yaitu (1) ketersediaan program pembelajaran untuk suatu topik tertentu.

Seringkali program pembelajaran yang kita butuhkan tidak tersedia dipasaran, kalaupun ada biasanya buatan luar negeri dan isinya kurang sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia. (2) Maksud dan tujuan. Penggunaan program pembelajaran akan efektif bila sudah dirumuskan terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai, misalnya untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami materi yang diajarkan dengan memberikan soal tes berjenjang dari yang sederhana sampai yang kompleks, selain itu dapat juga tujuan dikaitkan dengan pemahaman konsep dengan bantuan simulasi dan visualisasi. (3) kesiapan siswa untuk mengoperasikan program pembelajaran tersebut dan (4) ketersediaan komputer pendukung.

Pengalaman selama ini ketika menggunakan program pembelajaran berbasis komputer adalah bahwa pemakaian program pembelajaran tersebut sebagai pelengkap materi yang telah disampaikan oleh guru. Sedangkan pelaksanaanya dapat dilakukan diluar jam pelajaran di laboratorium komputer dengan atau tanpa bantuan guru. Jika memungkinkan program pembelajaran tersebut dapat pula dibuka di rumah bagi siswa yang telah memiliki komputer. Siswa dapat memahami isi materi dan mencoba soal latihan yang ada.

D. Multimedia Pembelajaran Interaktif

Menurut Oleksy (1995) dalam bukunya The Information Revolution: Education & Learning, multimedia adalah piranti teknologi yang terdiri dari piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software) yang membawa bersama-sama berbagai jenis media teks, ilustrasi-ilustrasi, gambar/foto, bunyi, suara, animasi, dan video pada sebuah komputer. Sedangkan menurut Yusop (1995) di ceramahnya yang bertema Multimedia Dalam Pengajaran dan Pembelajaran, multimedia adalah kaidah penyebaran maklumat yang direka bentuk khusus untuk menggabungkan bunyi, gambar-gambar diam dan bergerak, grafik, animasi, data, dan teks bersama-sama dengan keupayaan interaktif sebuah komputer.

Sehingga, multimedia adalah suatu teknik yang menggabungkan data, teks, gambar, grafik, animasi, bunyi dan video. Secara umum, multimedia merupakan perantara dalam pembelajaran yang mengkombinasikan teks, video, suara dan animasi dalam sebuah perangkat lunak komputer yang interaktif. Saat ini software program yang banyak dikembangkan dalam aplikasi pembelajaran adalah Macromedia Flash. Software ini dipakai luas oleh para profesional pengguna web, programmer maupun animator karena kemampuannya dalam menampilkan multimedia, gabungan antara grafis, animasi, suara serta interaktivitas bagi user jauh lebih unggul dibandingkan software sejenisnya. Software ini berbasis animasi vektor yang dapat digunakan untuk menghasilkan animasi, simulasi, presentasi, game (permainan), dan film.

E. Penggunaan Multimedia dalam Pendidikan

Teknologi multimedia mampu memberi kesan yang besar dalam bidang komunikasi dan pendidikan karena bisa mengintegrasikan teks, grafik, animasi, audio dan video. Multimedia telah mengembangkan proses pengajaran dan pembelajaran ke arah yang lebih dinamik. Tetapi yang lebih penting ialah tentang bagaimana untuk menggunakan teknologi tersebut dengan lebih efektif dan dapat mengeluarkan ide-ide untuk pengajaran dan pembelajaran. Penggunaan komputer multimedia dalam proses pengajaran dan pembelajaran adalah dengan tujuan meningkatkan mutu pengajaran dan pembelajaran itu sendiri.

Dengan berkembangnya teknologi multimedia, unsur-unsur video, bunyi, teks dan grafik dapat disimpan di dalam courseware Pembelajaran Berbantukan Komputer (PBK) yang dikemas dalam bentuk CD.

F. Ciri-ciri Program Multimedia Pembelajaran Interaktif

Program dibuat dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah paket program yang dapat memberi peluang kepada siswa untuk browse (download) dan menjelajahinya. Terdapat banyak judul CD yang dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Ciri-ciri yang perlu ada dalam Program Multimedia Pembelajaran interaktif adalah sebagai berikut :

a. Pencarian menggunakan katakunci, indeks atau ringkasan mudah dilaksanakan

b. Mudah untuk install

c. Mudah digunakan dan mudah dipahami

d. Dapat mengikut keinginan pengguna (flexible)

e. Interaktif

f. Kooperatif (http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/OudaTedaEna.doc)

G. E-Learning

Inovasi dalam teknologi pembelajaran memang tidak pernah berhenti. Setiap saat pendidik yang tergabung di dalamnya berusaha untuk mengembangkan teknologi yang digunakan selama ini dan memperbaiki kelemahannya untuk kualitas pendidikan yang lebih baik.

Sanjaya (2006:) memandang e–learning atau proses pembelajaran dengan media elektronik terutama internet, saat ini dianggap dapat menjadi solusi pendidikan bagi siswa yang tidak dapat hadir secara fisik ke setiap perkuliahan atau pembelajaran, namun mempunyai niat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Bagi institusi pendidikan, teknologi di dalam e-learning dapat dijadikan media untuk semakin memperbaiki kualitas dalam pembelajaran jarak jauh yang seperti diterapkan di Universitas Terbuka (UT) akhir-akhir ini.

E-learning juga dapat digunakan sebagai pembelajaran tatap muka yang melibatkan perangkat komputer di kelas, misalnya Pembelajaran Berbasis Komputer atau Computer Assisted Instruction (CAI). Dukungan multimedia dan perkembangan baru di dunia web semakin membantu mewujudkan pembelajaran interaktif meskipun tidak ada pertemuan secara fisik. Hal inilah yang menjadi fokus dalam The 3rd International Conference E-Learning yang diadakan di Bangkok, belum lama ini. Namun kesuksesan pembelajaran dalam e-learning juga terletak pada kepercayaan yang diberikan kepada siswa dan kejujuran dari setiap komponen yang terlibat di dalamnya. Awalan (e) pada e-learning sebetulnya berbicara tentang exploration (pendalaman), experience (pengalaman), engagement (keterlibatan), ease of use (kemudahan penggunaan), dan empowermen (pendayagunaan), namun juga memungkinkan untuk dieksploitasi ke arah negatif.
Kekayaan akan informasi yang sekarang tersedia di internet telah lebih mencapai harapan dan bahkan imajinasi dari para penemu sistem yang pertama.

Internet awalnya diciptakan untuk kebutuhan sistem pertahanan militer supaya dapat didesentralisasikan sehingga mengurangi resiko kerusakkan total, mungkin saja hal ini bisa terjadi apabila sistem sentral komputer utama dimusnahkan. Internet juga dapat didesentralisasikan dan diberdayakan. Dengan menggunakan internet kita dapat mengakses sumber-sumber informasi tanpa batas yang sedang berkembang secara cepat. Kita dapat berkomunikasi secara individual atau secara massa yang dapat dilakukan di mana saja di seluruh dunia hanya dalam waktu beberapa detik saja. Kita dapat menyebarkan (publish) informasi yang bisa diakses dari mana saja di seluruh dunia dalam waktu singkat sekali. Kita dapat berkomunikasi secara langsung (real time) melalui telepon dan unit video processing. Kita bisa melakukan “chat” melalui jaringan gratis “chat” yang sangat luas yaitu mIRC.

H. Kelebihan E-Learning

Pembelajaran dengan menggunakan e-learning mempunyai berbagai kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional. Dengan munculnya e-learning, memberikan warna baru dalam proses pembelajaran fisika di kelas. Pengajar dalam hal ini guru Sains (Fisika) banyak menjumpai kesulitan jika di laboratoriumnya tidak tersedia alat-alat untuk praktikum. Mereka berangggapan jika tidak ada alat yang tersedia maka praktikum lebih baik tidak dilaksanakan. Tetapi jika guru menggunakan bantuan e-learning, dalam internet sudah banyak tersedia animasi interaktif yang menyediakan fasilitas alat-alat praktikum yang dapat digunakan. Guru bisa langsung online ke web yang dituju terus men-download program yang diinginkan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa ahli di bawah ini.
Darsono (2001) menyatakan bahwa prinsip memahami sendiri (belajar mandiri) sangat penting dalam belajar dan erat kaitannya dengan prinsip keaktifan. Siswa yang belajar dengan melakukan sendiri (tidak minta tolong orang lain) akan memberikan hasil belajar yang lebih cepat dalam pemahaman yang lebih mendalam. Prinsip ini telah dibuktikan oleh John Dewey dengan “lerning by doing” nya. Lebih lanjut prinsip memahami sendiri ini diartikan bahwa hendaknya siswa tidak hanya tahu secara teoritis, tetapi juga secara praktis. Pembelajaran dengan menggunakan e-learning dapat menumbuhkan sikap belajar mandiri.

Arsyad (2002) menyatakan bahwa media pembelajaran dengan komputer dapat menampilkan dengan baik berbagai simulasi, visualisasi, konsep-konsep, dan multimedia yang dapat diakses user (siswa) sesuai dengan yang diinginkan sehingga visualisasi yang bersifat abstrak dapat ditampilkan secara konkrit dan dipahami secara mendalam. Maka dengan menggunakan e-learning, siswa mendapatkan kemudahan dalam mengatasi pembelajaran fisika yang banyak menampilkan visualisasi yang bersifat abstrak. Media pembelajaran ini dapat menampilkan konsep yang bersifat abstrak ke dalam konsep yang bersifat konkrit sehingga pemahaman siswa lebih mendalam.

Dalam Jurnal Physics Education, Clinch dan Richards (2002) menyatakan bahwa dalam penggunaan e-learning dengan program java applet yang didownload dari internet sangat baik dalam pembelajaran fisika untuk percobaan/praktikum. Penilitiannya membuktikan bahwa pembelajaran dengan e-learning program java applet dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memvisualisasikan gambar yang bersifat abstrak menjadi konkrit dan tidak hanya dibayangkan saja. Tampilan program dalam e-learning juga dapat digunakan untuk memancing siswa berdiskusi tentang materi atau konsep yang ditampilkan pada layar monitor.

I. Kelemahan E-Learning

Ada beberapa kelemahan dalam e-learning yang sering menjadi pembicaraan, antara lain kemungkinan adanya kecurangan, plagiasi, dan pelanggaran hak cipta. Kuldep Nagi dari Amerika, memberikan ide untuk mengaktifkan diskusi kelompok secara online dan membatasi kadaluwarsa soal-soal ujian. Selain itu, pengajar (guru) juga harus memberikan interaksi yang responsif dan berkelanjutan untuk mengenal siswa lebih jauh dan dapat melihat minatnya, memberikan ujian berupa analisa atas suatu kasus yang berbeda, serta memintanya untuk menjelaskan logika yang menjadi analisa tersebut.

Emil Marais dan Basie von Solms dari Afrika Selatan menambahkan perlunya penyediaan alat bantu untuk membatasi akses ilegal ke dalam proses pembelajaran, baik dengan menggunakan password ataupun akses dari nomor IP (Internet Protocol) tertentu untuk mengurangi kecurangan dalam praktik e-learning. Kelemahan yang paling mendasar dari e-learning adalah kecurangan, plagiasi, dan pelanggaran hak cipta. Sesuai data dari Microsoft Corporation, pada tahun 2006 Indonesia menduduki peringkat ke dua terbesar dalam pembajakan di dunia maya (internet) pada khususnya dan penggunaan software di PC (Personal Computer) pada umumnya. Hal tersebut membuktikan bahwa internet dalam hal ini e-learning masih banyak sekali kekurangannya.

Pembelajaran dengan menggunakan e-learning juga harus membutuhkan jaringan internet untuk pembelajaran jarak jauh. Padahal tidak semua instansi memiliki jaringan internet. Program-program dalam e-learning juga membutuhkan Personal Computer (PC) dengan spesifikasi yang cukup canggih agar program bisa berjalan dengan baik. Walaupun programer sudah menyediakan fasilitas password atau pengaman tetapi tangan-tangan jahil masih banyak yang merusaknya atau membajaknya. Walaupun demikian, e-learning sebagai suatu inovasi dalam proses pembelajaran sudah memberikan warna baru cara belajar jarak jauh yang mandiri.

J. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan mengenai pembelajaran melalui e-learning, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Pembelajaran dengan bantuan komputer (PBK) atau Computer Assisted Instruction (CAI) merupakan awal mula kemunculan dari e-learning. Pada CAI, siswa hanya dapat melihat tampilan gambar dan slide saja dari komputer. Siswa belum dapat berkomunikasi secara interaktif dengan komputer. Dengan berbagai kemajuan dalam dunia web di internet, muncul berbagai program interaktif. Yang paling terbaru dari e-learning adalah pembelajaran fisika dengan menggunakan multimedia interaktif atau makromedia interaktif. Siswa tidak hanya melihat tampilan gambar dan slide dalam program saja, melainkan siswa dapat secara interaktif merubah berbagai content program sesuai dengan yang diinginkan.

Pembelajaran dengan menggunakan e-learning mempunyai kelebihan dalam hal belajar mandiri. Dengan e-learning, siswa bisa lebih leluasa secara mandiri melakukan pembelajaran tanpa bimbingan guru secara langsung. Dengan belajar mandiri melalui e-learning, siswa dapat memahami konsep-konsep fisika yang bersifat abstrak menjadi lebih konkrit karena penggunaan multimedia interaktif di internet. Dengan e-learning, guru juga dapat melaksanakan praktikum jika alat-alat di laboratorium tidak tersedia. Praktikum bisa adiganti dengan multimedia interaktif yang lebih sederhana dan konkrit.
Selain mempunyai beberapa kelebihan, e-learning juga mempunyai beberapa kelemahan mendasar, diantaranya sebagai berikut: masih banyaknya kecurangan, plagiasi, dan pelanggaran hak cipta. Program-program dalam e-learning juga harus melibatkan jaringan internet ataun Personal Computer (PC) yang lumayan canggih agar program bisa berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

---------, Pembelajaran (online) http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/OudaTedaEna.doc [20 Oktober 2006].

Arsyad, A. (2002). Media Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Clinch, J. dan Richards. (2002). “How can the internet be used to enhance the theaching of physics? ”. Physics Education Journal. 3, (2), 110-111.

Darsono, M. (2000). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: Unnes Press.

Darsono, M. (2001). Belajar dan Pembelajaran. Semarang: Unnes Press.

Marais, E. dan Solms, B. V. (2006). “Password dalam Akses Nomor IP (Internet Protocol) ”, dalam The 3rd International Conference E-learning. Thailand: Kementrian Information and Comunication Technology.

Nagi, K. (2006). “Diskusi secara online dan batasan soal-soal ujian”, dalam The 3rd International Conference E-learning. Thailand: Kementrian Information and Comunication Technology.

Oleksy, W. (1995). The Information Revolution: Education & Learning. —-: ——

Sanjaya, R. (2006). “E-learning Bukan Semata Upload dan Download”. Suara Merdeka (15 Oktober 2006)

Ying, Y. (1999). Courseware. [Online]. Tersedia: http://iroi.seu.edu.cn/books/ee_dic/whatis/coursewa.htm [20 Oktober 2006]

Yusop, N. I. (1995). “Multimedia Dalam Pengajaran dan Pembelajaran”. Makalah tak dipublikasikan.

PENDIDIKAN SEBAGAI REKONSTRUKSI SOSIAL (Studi Kasus: Merebaknya Kekerasan Antar Siswa)


PERANCANGAN DAN PEMBUATAN MODEL PEMBELAJARAN E-LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN DI JPTE FPTK UPI

A. Latar belakang

Fenomena kekerasan dalam lembaga pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi. Bangsa ini tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan tetapi juga mengalami kemerosotan nilai-nilai moral. Kita kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih sayang, penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusian kita hilang, sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras. Permusuhan tumbuh subur dan melembaga. Mereka mungkin juga lupa bahwa kita adalah manusia yang hadir dengan aneka perbedaan, bermacam-macam warna, dan banyak kepentingan. Kekerasan di lembaga pendidikan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Akar masalahnya harus segera ditemukan untuk dijadikan brainstorming dalam rangka mencari pemecahan masalah.

Aksi kekerasan oleh pelajar/siswa telah menimbulkan kerugian yang besar. Bukan hanya materi yang hilang, nyawa pun melayang. Fenomena menyimpang ini membuat kita resah sekaligus bertanya-tanya. Masalah apa gerangan yang membuat anak-anak bangsa yang mengaku agen perubahan/rekonstruksi menjadi ganas dan beringas? Bukankah setiap saat mereka belajar nilai-nilai moral dan religius? Bukankah mereka juga yang menyebut dirinya sebagai generasi masa depan bangsa?

Paolo Freire (1973: 18), tokoh pendidikan masyarakat marjinal mengatakan bahwa inti pendidikan adalah penyadaran diri peserta didik kepada dirinya sendiri, orang lain, dan masyarakat. Sebuah konsep pendidikan yang ideal dan sangat menyejukkan. Jika gagasan Freire ini dapat terwujud dari proses pendidikan kita, maka kehidupan bangsa ini Insyaallah akan menjadi indah. Kekerasan di lembaga pendidikan merupakan refleksi ketidakmampuan generasi kita untuk menyadari dirinya dan memahami orang lain. Egoisme untuk selalu “dipahami” lebih dominan ketimbang ketulusan untuk “menyadari” keberadaan dan kebutuhan orang lain. Kesadaran untuk “mengerti” tenggelam oleh keinginan untuk selalu “dimengerti”.

Kekerasan di lembaga pendidikan menjadi cerminan susahnya melahirkan generasi yang cerdas dan kreatif. Orang cerdas dalam arti orang yang selalu menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif, sedangkan orang kreatif adalah orang yang mempunyai banyak pilihan untuk memenuhi kepentingan dengan kemampuan pilihan yang tepat di luar cara-cara kekerasan (Highet, 2002). Dari paparan ini, jelas bahwa pelajar cerdas tidak akan memilih aksi kekerasan sebagai alat menyelesaikan masalah. Inilah tantangan pendidikan kita di masa depan, yakni kemampuan melahirkan generasi yang “cerdas” dan “kreatif”.

Masalah kekerasan di lembaga pendidikan dewasa ini merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, penyelesainnya harus dikembalikan kepada lembaga yang memegang “tanggung jawab sosial”. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus memegang peranan aktif. Keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama dan utama harus mampu mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Pola asuh orang tua dengan pendekatan kasih sayang harus mampu mengajarkan cara hidup bersama life together (Freire, 1973: 78).

B. Fokus

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat difokuskan bagaimana pendidikan sebagai rekonstruksi sosial yang mengakibatkan perilaku siswa yang agresif yang mengarah pada tindak kekerasan. Hal ini menarik untuk dibahas karena dewasa ini sering terjadi tindak kekerasan antar siswa yang ditimbulkan dari adanya degradasi moral yang menyebabkan pendidikan sebagai rekonstruksi sosial kurang efektif.

C. Pembahasan

Henderson (2002) sebagaimana aliran filsafat pendidikan yang lain, rekonstruksianisme mendasarkan gagasan rekonstruksinya pada para filsuf terdahulu yang dianggap sebagai “filsuf rekonstruksianis”. Diantaranya adalah Plato yang telah merancang desain negara masa depan (The Republik), dan secara tandas menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar utama dari pembangunan masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya terjadi ekualitas seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan diperintah oleh pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis. Selain Plato, filsuf Stoic seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf dari kerajaan Romawi, yang mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat nasionalisme dan chauvinisme (Ritzer, 1980). Sementara itu, filsuf era Skolastik seperti St. Augustine juga menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen ideal, sebagaimana tertuang dalam karyanya The City of God (Kemeny, 1959).

Kesemua pemikir tersebut merekomendasikan pendidikan sebagai instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial, contohnya Plato yang menegaskan bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari masyarakat terbaik; Marx melihat pendidikan sebagai jalan untuk membantu kaum proletar dalam mengembangkan pandangan mengenai “kesadaran sosial” (Henderson, 2002).

Aliran ini juga bertujuan melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo. Asumsi utama yang dikedepankan adalah upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis yang merupakan suatu bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial (Kuhn, 1969).

1. Pokok-pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksianisme

Kemeny (1959) mengatakan beberapa prinsi-prinsip pokok pemikiran yang dikembangkan rekonstruksianisme dapat diuraikan sebagai berikut antara lain:

a. Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan yang ada tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan mengalami kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial budaya yang timbul akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya alam yang kian menipis, berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia, kesenjangan global antara negara kaya dan miskin, kapitalisme global, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan penyalahgunaan teknologi. Seperti diketahui, teknologi adalah penyumbang terbesar terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri menjadi harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini. Teknologi saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta meningkatkan bahaya kimiawi yang terkandung pada makanan dan lahan pertanian.

b. Perlunya sebuah tatanan sosial semesta. Maksudnya untuk mengatasi persoalan-persoalan global tersebut, perlu kolaborasi menyeluruh dari seluruh antar elemen bangsa-bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang berasaskan keadilan dan kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia sedunia, dan mengabaikan batasan-batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa dan agama.

c. Pendidikan formal adalah agen utama dalam upaya rekonstruksi tatanan sosial. Aliran rekonstruksianisme menilai sekolah-sekolah formal yang ada merefleksikan nilai-nilai sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena nya sekolah-sekolah formal harus merekonstruksi secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Bagi mereka pendidikan dapat menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.

d. Metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan “asli” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Dalam perspektif rekonstruksianis, adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, sosial. Di sisi lain menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mau mengungkapkan dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Lebih dari itu rekonstruksianisme mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia De Jong (2006).

e. Pendidikan formal adalah bagian tak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia global, dan terlibat aktif dalam mengajarkan perubahan sosial. Pendidikan harus memantikkan kesadaran peserta didik akan problematika sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberikan solusi. Kesadaran sosial (social consciousness) dapat ditumbuhkan dengan menanamkan sikap dan daya kritis terhadap isu-isu kontroversial dalam agama, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu para peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.

2. Fenomena kekerasan siswa

Paolo Freire (1973) tokoh pendidikan masyarakat marjinal mengatakan bahwa inti pendidikan adalah penyadaran diri peserta didik kepada dirinya sendiri, orang lain, dan masyarakat. Sebuah konsep pendidikan yang ideal dan sangat menyejukkan. Jika gagasan Freire ini dapat terwujud dari proses pendidikan kita, maka kehidupan bangsa akan menjadi indah. Kekerasan di lembaga pendidikan merupakan refleksi ketidakmampuan generasi kita untuk menyadari dirinya dan memahami orang lain. Egoisme untuk selalu “dipahami” lebih dominan ketimbang ketulusan untuk “menyadari” keberadaan dan kebutuhan orang lain. Kesadaran untuk “mengerti”.

Fenomena kekerasan dalam lembaga pendidikan seolah memberikan gambaran bahwa kita sebagai bangsa sungguh lemah dalam mengendalikan emosi. Bangsa ini tumbuh tidak hanya menjadi bangsa yang miskin pengetahuan tetapi juga mengalami kemerosotan nilai-nilai moral. Kita kehilangan kepekaan terhadap sesama, kasih sayang, penghargaan, dan budaya malu. Nilai-nilai kemanusian kita hilang, sebaliknya yang tumbuh adalah jiwa dan watak yang keras. Permusuhan tumbuh subur dan melembaga. Mereka mungkin juga lupa bahwa kita adalah manusia yang hadir dengan aneka perbedaan, bermacam-macam warna, dan banyak kepentingan. Kekerasan di lembaga pendidikan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Akar masalahnya harus segera ditemukan untuk dijadikan brainstorming dalam rangka mencari pemecahan masalah.

Sejumlah problem sosial yang melatarbelakangi seringnya terjadi tindakan kekerasan dewasa ini. Pertama, aksi kekerasan pelajar merupakan refleksi kehidupan sosial bangsa saat ini. Bukankah konflik terus berkecamuk dalam keseharian kita. Konflik antar anggota masyarakat maupun konflik antar elit politik. Hampir setiap saat kita disuguhi pengalaman hidup yang mengerikan seperti merusak ataupun membakar. Masyarakat kita, termasuk pelajar tumbuh dalam arena kekerasan. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahannya.

Kedua, kegagalan institusi pendidikan membentuk generasi yang berakhlak mulia. Keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai institusi pendidikan memegang peranan untuk menciptakan generasi yang memiliki “kecerdasan social” (social intelligence). Kecerdasan sosial dalam arti kemampuan untuk membawa diri dalam lingkungan pergaulan yang luas, menjalin interaksi secara komunikatif, memahami adanya perbedaan, dan memiliki rasa peka terhadap sesama.

Ketiga, merosotnya nilai-nilai kemanusian. Kekerasan mengindikasikan menurunnya pemahaman akan nilai-nilai kemanusian dalam diri masyarakat. Perasaan halus, keluhuran budi, dan kesantuan dikuasai oleh nafsu dan emosi. Keterasingan dari nilai kemanusian menyebabkan susahnya melahirkan solidaritas dan relationship yang kokoh.

  1. Antisipasi

Masalah kekerasan di lembaga pendidikan dewasa ini merupakan masalah sosial. Oleh karena itu, penyelesainnya harus dikembalikan kepada lembaga yang memegang “tanggung jawab sosial”. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus memegang peranan aktif. Keluarga sebagai institusi pendidikan yang pertama dan utama harus mampu mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Pola asuh orang tua dengan pendekatan kasih sayang harus mampu mengajarkan cara hidup bersama (life together).

Sekolah sebagai institusi pendidikan formal dituntut tanggap dan cekatan dalam melakukan rekonstruksi social pembelajaran nilai-nilai moral dan religius. Ruang-ruangan kelas harus dijadikan sebagai laboratorium penerapan nilai humanisme. Pendidikan moral bukan hanya sebagai rutinitas dan pemenuhan kewajiban kurikulum. Pembelajaran moral dan religius harus menanamkan kesadaran untuk menghargai keberadaan dan keunikan, menumbuhkan sikap toleransi, kompromi, sikap akomodatif, dan negosiasi. Dari sisi religius, pemahaman tentang agama tidak hanya dimaknai sebagai ritual belaka, tetapi nilai-nilai agama harus dapat diimpelementasikan dalam realitas kehidupan.

D. Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa aliran rekonstruksianisme mendasarkan paradigma filosofisnya pada tatanan-tatanan ideal utopis seperti konsep “negara filsuf” milik Plato dan “kota Tuhan” milik St. Augustine. Perubahan sosial yang dimaksud meliputi rekonstruksi pendidikan untuk merekonstruksi siswa ke tatanan sosial dan budaya yang lebih baik. Selain itu pendidikan sudah semestinya untuk mulai mengapresiasi atau concern terhadap nilai-nilai sosial, komunitas kemanusiaan, kedamaian dunia, keadilan ekonomi, persamaan, kemerdekaan dan demokrasi, dalam rangka untuk mengeliminir kejahatan sosial seperti kebencian, kerakusan, sektarianisme, radikalisme, korupsi dan perang (Tjong Tiat, 2005). Pendidikan moral bukan hanya sebagai rutinitas dan pemenuhan kewajiban kurikulum. Pembelajaran moral dan religius harus menanamkan kesadaran untuk menghargai keberadaan dan keunikan, menumbuhkan sikap toleransi, kompromi, sikap akomodatif, dan negosiasi yang dapat meminimalisasi kekerasan antar siswa

DAFTAR PUSTAKA

De Jong, J & Hartog, D D. 2006. Leadership as a determinant of innovative behaviour. A Conceptual framework. http://www.eim.net/pdf-ez/H200303.pdf. Diakses 22 Januari 2009

De Jong, JPJ & Kemp, R. 2003. Determinants of Co-workers’s Innovative Behaviour: An Investigation into Knowledge Intensive Service. International Journal of Innovation Management. 7 (2) (Juni 2003) 189 - 212. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 januari 2009

Freire, Paulo. 1973. Education for Critical Consciousness. New York: The Seabury

Henderson, SVP (2002) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Highet, G (2002), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan

Kemeny, J. G, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press

Kuhn, Thomas, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago: Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Scott, S. G & Bruce, R. A. 2003. Determinants of Innovative behavior: A Path Model Of Individual Innovation in the Workplace. Academy of Management Journal.. 37 (3) 580-607. Diakses melalui EBSCO tanggal 22 Januari 2009.

Ritzer, George. 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali.

Tjong Tiat, Liem (2005), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Template by:

Free Blog Templates