Kamis, 15 September 2011

Pesta Lomban di Pantai Kartini Jepara



Berawal Dari Pesta Nelayan

Pesta lomban di Jepara pada awalnya adalah pestanya masyarakat nelayan di wilayah kabupaten Jepara. Namun dalam perkembangan pesta ini tak hanya menjadi milik masyarakat Jepara. Pesta ini merupakan puncak acara dari pekan syawalan yang diselenggarakan pada tanggal delapan Syawal atau satu minggu setelah Idul Fitri.

Pesta lomban oleh masyarakat Jepara sering disebut sebagai bada lomban atau bada kupatan. Disebut bada kupat karena pada saat itu masyarakat Jepara merayakan dengan memasak kupat dan lepet disertai rangkaian makanan yang lezat seperti opor, ayam, rendang daging, sambal goring, dan lain-lain. Kupat adalah makanan tradisional yang tidak asing bagi masyarakat Jawa Tengah. Terbuat dari beras yang dibungkus daun kelapa muda (janur), kupat memiliki cita rasa lezat. Sedangkan lepet hampir seperti kupat tetapi terbuat dari ketan yang disertai parutan kelapa dan diberi garam. Berbentuk bulat lonjong, lepet memiliki rasa lebih gurih dan dimakan tanpa lauk.

Selain hidangan khas bada kupat dengan kupat lepetnya, masyarakat Jepara masih menyediakan aneka macam makanan kecil. Sedangkan anak-anak merayakan hari raya ini dengan memakai baju warna-warni dan siap untuk “berlomban-ria” di Pantai Kartini Jepara sebagai pusat keramaian pesta lomban.

Istilah lomban oleh sebagian masyarakat Jepara disebutkan dari kata “lomba-lomba” yang berarti masyarakat nelayan masa itu bersenang-senang melaksanakan lomba-lomba laut yang seperti sekarang masih dilaksanakan setiap pesta lomban. Namun ada sebagian mengatakan bahwa kata lomban berasal dari dari kata “lelumban” atau bersenang-senang. Semuanya mempunyai makna yang sama yaitu merayakan hari raya dengan bersenang-senang setelah berpuasa ramadhan sebulan penuh.



Pesta Lomban Zaman Dahulu

Pesta lomban itu sendiri telah berlangsung lebih dari 1 (satu) abad yang lampau. Berita ini tersumber dari tulisan tentang lomban yang dimuat dalam kalawarti/majalah bahasa melayu bernama “Slompret Melayu” yang terbit di Semarang pada paruh kedua abad XIX edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893. Koran ini menceritakan keadaan lomban pada waktu itu, dan teryata tidak berbeda dengan apa yang dilaksanakan masyarakat sekarang. Diceritakan dalam pemberitaan tersebut, bahwa pusat keramaian pada waktu itu berlangsung di Teluk Jepara dan berakhir di pulau Kelor. Pulau Kelor sekarang adalah komplek Pantai Kartini atau taman rekreasi pantai Kartini yang kala itu masih terpisah dengan daratan di Jepara.

Karena pendangkalan, maka lama-kelamaan antara pulau Kelor dan daratan Jepara bergandeng menjadi satu. Pulau Kelor dahulu pernah menjadi kediaman seorang melayu yang bernama “cik Lanang”. pulau ini dipinjamkan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada cik lanang atas jasanya dalam membantu Hindia Belanda pada perang di Bali.

Pesta lomban kala itu memang saat-saat yang menggembirakan bagi masyarakat warga nelayan di Jepara. Pesta ini dimulai pada pagi hari saat matahari mulai menampakan cahayanya. Peserta lomban telah bangun dan menuju perahu masing-masing. Mereka mempersiapkan “amunisi” guna dipergunakan dalam “perang teluk Jepara” baik amunisi logistik berupa makanan dan minuman maupun amunisi perang berupa ketupat, lepet. dan kolang-kaling. Untuk meramaikan dibawa pula petasan sehingga suasananya ibarat perang masa sekarang.

Keberangkatan armada perang ini diiringi dengan gamelan Kebogiro, bunyi petasan yang memekakkan telinga, dan peluncuran “peluru” kupat dan lepet dari satu perahu ke perahu yang lain.

Sesuai pertempuran para peserta pesta lomban bersama-sama mendarat ke pulau Kelor untuk makan bekalnya masing-masing. Di samping makan bekalnya situasi di Pulau Kelor tersebut ramai oleh para pedagang yang juga menjual makanan dan minuman serta barang-barang kebutuhan lainya.

Selain pesta-pesta tersebut, parta nelayan peserta pesta lomban tak lupa lebih dahulu berziarah ke makam Cik Lanang yang dimakamkan di pulau Kelor tersebut.



Pesta Lomban Sekarang

Pesta lomban masa kini benar-benar telah menjadi milik warga masyarakat Jepara. Hal ini nampak dari antusiasme masyarakat Jepara dalam menyambut pesta lomban. Dua atau tiga hari sebelum pesta lomban berlangsung pasar-pasar di kota Jepara nampak ramai seperti ketika menjelang Idul Fitri. Ibu-ibu rumah tangga sibuk mempersiapkan pesta lomban sebagai hari raya kedua. Pedagang bungkusan kupat dengan janur (bahan pembuat kupat dan lepet) juga menjajakan ayam guna melengkapi lauk-pauknya.

Malam sebelum pesta Lomban, beberapa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Jepara menjadi tempat pementasan wayang kulit semalam suntuk bagi para nelayan setempat. Barulah keesokan harinya pesta lomban dimulai dari TPI Kelurahan Ujungbatu, dengan puncak acara pelarungan sesaji. Maksud hari upacara pelarungan ini sendiri, merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada Allah SWT, yang melimpahkan rezeki dan keselamatan kepada warga masyarakat nelayan selama setahun dan berharap pula berkah dan hidayah di masa depan.

Pesta lomban berlangsung sejak jam 06.00 WIB dimulai dengan upacara pelepasan sesaji yang telah dipersiapkan sebelumnya. Upacara ini dipimpin oleh pemuka agama Kelurahan Ujungbatu, dihadiri oleh Bupati Jepara, Muspida, dan para pejabat tingkat kabupaten lainnya. Sesaji terdiri dari kepala kerbau, kupat-lepet, dan jajan pasar lengkap. Seluruh sesaji ditempatkan dalam miniatur perahu yang terbuat dari rakit dan kertas.

Sesaat setelah doa dipanjatkan, sesaji kemudian diangkat oleh para nelayan ke perahu pengangkut. Diiringi Bupati Jepara bersama Muspida dan rombongan lain. Sesaat setelah sesaji dinaikkan, diikuti bupati dan rombongan, perahu segera diberangkatkan ke tengah lautan, menuju ke Teluk Jepara. Puluhan, bahkan ratusan perahu nelayan yang rata-rata dipenuhi penumpang, langsung mengikuti perahu utama pengangkut sesaji. Sedangkan dari Pantai Kartini diberangkatkan KMP. Muria yang telah dipenuhi penumpang yang merupakan pengunjung Pantai Kartini. Untuk mempersiapkan melakukan perang laut, mereka telah membawa amunisi kupat-lepet.

Pada tempat yang telah ditentukan di Teluk Jepara, iring-iringan perahu dari TPI Ujungbatu bertemu dengan KMP Muria. Lokasinya berada sekitar 15 menit perjalanan laut, di arah barat laut dari Pulau Panjang. Di lokasi itu, pemuka agama di perahu pembawa sesaji kembali memimpin doa sebelum akhirnya sesaji yang telah berada di dalam rakit berbentuk perahu, dilapaskan ke laut.

Begitu rakit dilepaskan, ratusan orang berlompatan dari perahu masing-masing dan berenang mendekati sesaji. Seluruh sesaji langsung menjadi rebutan. Pada saat inilah perang dengan amunisi kupat-lepet dilakukan di tengah laut. Penunpang di tiap perahu melemparkan kupat-lepet yang telah dibawa ke perahu lain, aksi saling balas berlangsung sampai rombongan bupati merapat ke Pantai Kartini, yang menjadi puncak keramaian.

Saat turun dari KMP Muria, penumpang kembali mendapat kejutan di Pantai Kartini dengan lemparan kupat-lepet dari pengunjung lain yang telah menunggu di dermaga. Aksi saling lempar ini berlangsung beberapa saat sampai pengunjung membubarkan diri untuk menikmati aneka hiburan yang ada di pantai Kartini. Pengunjung yang bisa mencapai 60 ribu orang juga bisa menikmati kegiatan lomba-lomba yang dilakukan nelayan setempat.

Belakangan, pesta lomban dimeriahkan dengan festival kupat-lepet, yakni pertunjukan berabagai macam kesenian yang diakhiri dengan rebutan kupat-lepet. Kupat-lepet yang disediakan berjumlah sesuai tahun pelaksanaan lomban. Kedua jenis makanan ini ditata dalam dua gunungan berbeda. Begitu pertunjukan usai, pengunjung diperkenankan berebut kupat-lepet sehingga bisa dimakan.

Pengunjung yang tidak mengikuti acara ini memilih beristirahat dan makan bekal yang telah dibawa dari rumah.
sumber:http://www.jeparakab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=464&Itemid=587

0 comments:

Posting Komentar

silahkan comment di sini

Template by:

Free Blog Templates